Artikel Haji Itu Arafah, Muzdalifah, dan Mina
Haji Itu Arafah, Muzdalifah, dan Mina
Sebuah hadis yang sangat masyhur bahwa "haji itu Arafah" seharusnya didalamnya mengandung pemahaman "juga Muzdalifah dan Mina". Ketiga tempat ini merupakan rangkaian puncak ritual haji yang paling berat (masyaqqah). Jika berhenti (wuquf) di Arafah adalah rukun, maka mabit di Muzdalifah dan jumrah adalah wajib yang jika terlewat atau ditinggalkan wajib diganti dengan kifarat.
Ketiganya adalah padang tandus yang disaat melakukan mabit, setiap orang yang berhaji tidur dan berdiam beralaskan tanah. Kenapa mabit? Karena perintah Rasulullah soal haji adalah "mengambil manasik" (khudzu 'annii manasikakum) bukan "melihat" tata cara Nabi. Shalat kewajibannya "melihat" lain halnya haji karena didasarkan apa yang dilakukan Nabi, sehingga prosesi haji boleh "mengambil" sesuai kemampuan.
Itulah sebabnya, haji sarat dengan perbedaan (ikhtilaf) dari sisi ritualnya dan Nabi mempersilahkan mengambil mana yang paling memudahkan bukan yang menyulitkan. Ada yang meyakini harus mabit dulu di Mina ada yang langsung ke Arafah. Ada pula yang melakukan jumrah di waktu afdhal ada yang ikhtiar. Ada yang nafar awal dan tsani. Bahkan ada yang menjamak (menggabung) dua waktu jamarat di tanggal 11 dan 12 sekaligus.
Itulah sebabnya, Imam Nawawi membangun sebuah konklusi bahwa banyaknya sekian perbedaan dalam ritualitas haji, sulitnya perjalanan, dan beratnya manasik yang dijalankan menandakan kita dimudahkan memilih mana yang paling sesuai dengan kekuatan dan kesanggupan kita.
Tak ada gunanya berdebat soal ritualitas, karena inti ibadah itu "memudahkan" bukan "memberatkan". Kita terkadang membela yang utama tetapi melupakan yang paling utama. Ada saja yang berdebat soal mabit di Mina, yanf karena tak sesuai keinginan, ada beberapa kelompok yang memilih tidur nyaman di hotel daripada susah payah berdesakan di tenda. "Saya bayar mud saja ji, 100 real pun saya bayar!" Uang banyak dipikir bisa menyelesaikan masalah, wajar jika Nabi menyindir jika suatu saat banyak orang berhaji tapi sekadar tamasya dan bersenang-senang.
Beratnya prosesi ibadah Armuna, memang tak sedikit keluhan dari banyak orang. Bahkan ada serombongan KBIH yang memaki-maki petugas karena merasa tendanya kesempitan. "Kalau perlu saya bayar dan sewa lagi, saya bayar, berapa sih?" Itulah kadang kita lupa bahwa ibadah merupakan "kepasrahan" dan "ketundukan" kita kepada Tuhan, bukan malah dirusak dengan cara mendikte Tuhan.
Jika pasrah, ibadah akan berkah penuh hikmah. Banyak pelajaran dan i'tibar yang bisa kita ambil. Bahkan "ketundukan" kita kepada Tuhan justru menambah keimanan dan ketakwaan. Inilah sesungguhnya bekal yang sebenar-benarnya, sebagaimana dalam rangkaian manasik haji yang diabadikan oleh al-Quran yang diakhiri dengan kalimat "berbekalah, karena sebaik-baik bekal adalah taqwa". Mereka yang bertakwa adalah orang-orang pasrah, tunduk, patuh, dan berpikir (ulul albab).
Repost dari https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10214695453635006&id=1083717695
Sebuah hadis yang sangat masyhur bahwa "haji itu Arafah" seharusnya didalamnya mengandung pemahaman "juga Muzdalifah dan Mina". Ketiga tempat ini merupakan rangkaian puncak ritual haji yang paling berat (masyaqqah). Jika berhenti (wuquf) di Arafah adalah rukun, maka mabit di Muzdalifah dan jumrah adalah wajib yang jika terlewat atau ditinggalkan wajib diganti dengan kifarat.
Ketiganya adalah padang tandus yang disaat melakukan mabit, setiap orang yang berhaji tidur dan berdiam beralaskan tanah. Kenapa mabit? Karena perintah Rasulullah soal haji adalah "mengambil manasik" (khudzu 'annii manasikakum) bukan "melihat" tata cara Nabi. Shalat kewajibannya "melihat" lain halnya haji karena didasarkan apa yang dilakukan Nabi, sehingga prosesi haji boleh "mengambil" sesuai kemampuan.
Itulah sebabnya, haji sarat dengan perbedaan (ikhtilaf) dari sisi ritualnya dan Nabi mempersilahkan mengambil mana yang paling memudahkan bukan yang menyulitkan. Ada yang meyakini harus mabit dulu di Mina ada yang langsung ke Arafah. Ada pula yang melakukan jumrah di waktu afdhal ada yang ikhtiar. Ada yang nafar awal dan tsani. Bahkan ada yang menjamak (menggabung) dua waktu jamarat di tanggal 11 dan 12 sekaligus.
Itulah sebabnya, Imam Nawawi membangun sebuah konklusi bahwa banyaknya sekian perbedaan dalam ritualitas haji, sulitnya perjalanan, dan beratnya manasik yang dijalankan menandakan kita dimudahkan memilih mana yang paling sesuai dengan kekuatan dan kesanggupan kita.
Tak ada gunanya berdebat soal ritualitas, karena inti ibadah itu "memudahkan" bukan "memberatkan". Kita terkadang membela yang utama tetapi melupakan yang paling utama. Ada saja yang berdebat soal mabit di Mina, yanf karena tak sesuai keinginan, ada beberapa kelompok yang memilih tidur nyaman di hotel daripada susah payah berdesakan di tenda. "Saya bayar mud saja ji, 100 real pun saya bayar!" Uang banyak dipikir bisa menyelesaikan masalah, wajar jika Nabi menyindir jika suatu saat banyak orang berhaji tapi sekadar tamasya dan bersenang-senang.
Beratnya prosesi ibadah Armuna, memang tak sedikit keluhan dari banyak orang. Bahkan ada serombongan KBIH yang memaki-maki petugas karena merasa tendanya kesempitan. "Kalau perlu saya bayar dan sewa lagi, saya bayar, berapa sih?" Itulah kadang kita lupa bahwa ibadah merupakan "kepasrahan" dan "ketundukan" kita kepada Tuhan, bukan malah dirusak dengan cara mendikte Tuhan.
Jika pasrah, ibadah akan berkah penuh hikmah. Banyak pelajaran dan i'tibar yang bisa kita ambil. Bahkan "ketundukan" kita kepada Tuhan justru menambah keimanan dan ketakwaan. Inilah sesungguhnya bekal yang sebenar-benarnya, sebagaimana dalam rangkaian manasik haji yang diabadikan oleh al-Quran yang diakhiri dengan kalimat "berbekalah, karena sebaik-baik bekal adalah taqwa". Mereka yang bertakwa adalah orang-orang pasrah, tunduk, patuh, dan berpikir (ulul albab).
Repost dari https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10214695453635006&id=1083717695
Post a Comment for "Artikel Haji Itu Arafah, Muzdalifah, dan Mina"